Halaman

Jumat, 05 Desember 2008

Domestikasi laut atau restoking?

Baru-baru ini telah dilaporkan bahwa stok ikan laut dunia telah menurun dengan cepat (Sargent dan Tacon, 1999). Penurunan stok ikan laut ini diperkirakan sebagai akibat dari kegagalan pengelolaan perikanan laut dalam beberapa dekade terakhir di hampir seluruh belahan dunia. Dan hal ini menyebabkan penangkapan ikan di laut tidak akan bertahan lebih lama lagi dan mungkin tidak ada lagi yang tersisa untuk bisa dikelola (Pauly et al., 2002). Kondisi perikanan Indonesia tidak jauh berbeda dengan kondisi perikanan dunia secara umum. Sistem penentuan stok sumberdaya ikan yang kurang akurat (Wiyono, 2005) dan lemahnya penegakan hukum di laut, telah menyebabkan kegiatan penangkapan ikan di Indonesia mencapai overfishing di berbagai wilayah perair-an. Beratnya beban laut Indonesia untuk menyediakan stok ikan semakin diperparah dengan tingginya kejadian illegal fishing. Bila kenyataanya stok ikan di Indonesia juga seperti halnya kondisi stok ikan dunia, maka apa yang seharusnya kita lakukan untuk memulihkan kondisi stok atau memenuhi kebutuhan kita?

Sejak berakhirnya jaman es, dan dimulainya revolusi industri, manusia telah mempengaruhi evolusi organisme darat maupun laut, dan telah menyebabkan hilangnya beberapa jenis hewan liar (Diamond, 2002). Manusia telah menggu-nakan pendekatan land-based ekosistem untuk memenuhi kebutuhannya. Pendekatan ini, di satu sisi telah menghasilkan keuntungan tetapi di sisi yang lain meng-haruskan membayar cost yang yang tidak murah, misalnya banyaknya penyakit yang menyerang hewan peliharaan. Hal yang mirip juga telah terjadi di lautan, meskipun prosesnya lebih lambat karena luasnya laut dan ketidakramahan laut. Sejauh ini, perubahan di laut juga menggambarkan apa yang telah terjadi di darat seperti perusakan habitat, perubahan utama dalam komunitas tumbuhan dan hewan, dan hilangnya spesies hewan ukuran besar.

Penangkapan yang secara prinsip adalah pengejaran ikan di laut, merupakan penyebab langsung atau tidak langsung perubahan-perubahan yang telah terjadi di laut, mulai dari hilangnya mamalia laut ukuran besar hingga kerusakan habitat. Penangkapan yang tiada henti-hentinya dan peningkatan kemampuan tangkap, telah mengurangi populasi ikan dunia dengan cepat. Penangkapan spesies laut ukuran besar, seperti ikan pedang (swordfish) dan tuna, telah menurunkan 80% populasi selama 20 tahun terakhir (Myers dan Worm, 2003). Ikan cod yang secara historis merupakan spesies utama sudah menjadi sulit ditemukan di daerah Atlantik Utara. Di banyak daerah, trawl-dasar (bottom trawl) telah menyapu dasar lautan. Semua ini hanyalah sedikit contoh dari bukti pengejaran yang panjang dan menyedihkan di lautan. Bila sejarah dijadikan sebagai sebuah petunjuk, meskipun sistem manajemen penangkapan berbasis ekosistem atau dengan istilah ecosystem-based fishery management, (Pikitch, 2004) diterapkan sekalipun, maka kemampuan laut untuk menyuplai ikan yang dapat kita tangkap akan segera mencapai batas maksimumnya.
Memburuknya perikanan tangkap dunia dan kerusakan habitat laut membantu menjelaskan mengapa domestikasi laut merupakan kegiatan yang tidak dapat dielakkan. Tetapi, kita perlu berhati-hati mempertimbangkan bagaimana domestikasi ini dilakukan untuk menghindari lubang-lubang perangkap yang bisa merusak lingkungan (Pauly et al., 2002; Naylor et al., 2000).

Domestikasi ikan atau akuakultur secara keseluruhan telah berperan dalam pening-katan produksi ikan dunia yang terjadi dalam 18 tahun terakhir ini (Naylor et al., 2000). Peningkatan produksi ikan ini diperoleh dengan melakukan domestikasi di darat. Akan tetapi, hal ini kelihatannya sudah tidak bisa ditingkatkan lagi, karena transformasi di darat hanya menghasilkan sedikit perubahan. Oleh karena itu, saat ini mungkin sudah waktunya untuk melakukan domestikasi di laut. Domestikasi laut ini mungkin sudah menjadi keharusan dan sesegera mungkin untuk dilakukan, mengingat pertumbuhan penduduk yang sangat cepat. Namun demikian, kita juga harus mampu menjawab bagaimana domestikasi diterapkan, sehingga pengelolaannya tetap memperhatikan kesehatan lingkungan dan kesinambungannya.

Untuk mengantisipasi penurunan produksi ikan di Amerika Serikat, baru-baru ini, badan nasional Amerika Serikat yang menangani laut dan atmosfir mengusulkan peraturan untuk memperluas usaha budidaya hingga 200 mil dari pantai dan menambah jumlah spesies ikan yang dibudidayakan (Marra, 2005). Berita ini sangat mengagetkan dan menimbulkan bermacam-macam reaksi (Dalton, 2005). Tetapi, mereka juga yakin bahwa cara ini merupakan sesuatu yang tak terelakkan lagi. Sementara itu, di Negara kita, Departemen Kelautan dan Perikanan membuat kebijakan pengembangan spesies budidaya unggulan seperti ikan nila untuk budidaya air tawar, dan udang windu, kerapu dan rumput laut untuk budidaya laut. Pemilihan jenis organisme ini dimaksudkan untuk mengkonsentrasikan perhatian dalam pengem-bangan budidaya ikan yang memiliki nilai strategis, baik secara nasional maupun internasional.

Akuakultur dan Problematikanya

Ambruknya perikanan laut diduga akan terjadi bersamaan dengan meningkatnya permintaan pangan dunia, khususnya protein hewani. Sehingga produksi pangan dunia harus dilipat-gandakan 50 tahun ke depan untuk mengimbangi pertumbuhan penduduk dunia (Tilman et al., 2002), dan laut dunia harus lebih berperan sebagai sumber pangan.

Untuk mengatasi kesenjangan kebutuhan dan produksi protein hewani, maka kegiatan akuakultur perlu lebih ditingkatkan. Amerika Serikat misalnya, dalam 20 tahun terakhir telah meningkatkan sekitar 10% per tahun produksi budidayanya, yang meliputi budidaya ikan laut dan kerang-kerangan di pinggir pantai. Sejauh ini, di Indonesia sebagian besar perluasan akuakultur dilakukan pada ikan air tawar, seperti nila, ikan mas dan ikan lele-lelean di kolam atau keramba jaring apung. ?@Sedangkan pada budidaya laut adalah masih didominasi oleh udang windu. Jenis organisme budidaya laut yang dikembangkan juga baru-baru ini adalah udang jenis vannamei dan ikan kerapu. Khusus untuk ikan kerapu, masih diperlukan pengembangan teknologi budidayanya untuk mencapai hasil yang memuaskan, baik dari segi teknologi produksi benih, maupun sistem pembesarannya.

Seperti pemeliharaan hewan darat, pemeliharaan ikan dapat merugikan lingkungan dan ekosistem pantai dengan berbagai cara (Pauly et al., 2002). Pertama, budidaya laut dapat mencemari dari segi estetika, kimiawi, dan secara genetika. Sistem budidaya laut di pantai merusak pemandangan di laut dan mempengaruhi nilai pro-pertinya. Bahan kimia yang ditambahkan dalam pakan ikan, seperti bahan pewarna, menjadi ditemukan di dasar laut, dari kemudian masuk ke dalam rantai makanan di hewan bentik. Dan untuk polusi genetika, lepasnya ikan peliharaan dari wadahnya dan menginfeksi gen-pool stok ikan liar atau mengganti spesies endemik, bisa menjadi sumber masalah. Kedua, padatnya wadah budidaya atau tambak dapat dengan mudah melipatkan gandakan penyakit dan menyebarkannya dengan cepat dibandingkan dengan yang alami. Ketiga, marikultur ikan karnivora memberikan tekanan tambahan yang besar kepada stok alam yang digunakan untuk pakan (Naylor et al., 2000), menjadi memperburuk/mempercepat penurunan stok populasi ikan alam.

Sampai saat ini, kebutuhan ikan pelagik ukuran kecil, seperti anchovy atau sardine, untuk ikan komersil budidaya (sebagai contoh ikan salmon), adalah melebihi produksi ikan komersil itu sendiri dalam arti biomassa. Hal ini tidak dapat disangkal akan mendatangkan masalah yang serius, misal menambah penyakit-penyakit lingkungan yang datang dari darat ke tempat usaha pemeliharaan. Tetapi bila kita setuju bahwa domestikasi laut baru dimulai, kita dapat merancang agenda penelitian untuk mengurangi masalah dan mempertahankan kelangsungannya, baik secara ekologis maupun ekonomis.

Domestikasi Laut Membutuhkan Dukungan Kolektif

Penelitian untuk industri marikultur diperlukan mulai dari penelitian dasar hingga aplikasinya. Juga dibutuhkan pemilihan spesies yang dapat diadaptasikan di wadah budidaya dan dapat didomestikasi sepanjang siklus hidup-nya. Sistem pengelolaan kesehatan ikan dan makanannya. Pencarian alternatif pengganti ikan pelagik kecil yang saat ini digunakan untuk ikan budidaya, misal hasil tangkapan sampingan. Dengan mempertimbangkan dina-mika laut dan kondisi gelombang permukaan, menentukan dimana seharusnya marikultur dilakukan. Juga, perlu diteliti bagaimana seharusnya konstruksi wadah dan sistem pengelolaannya. Semua hal di atas akan mengarahkan kita kepada aspek peraturan dan hukum. Salah satu jalan pemecahan untuk masalah-masalah yang berhubungan dengan marikultur pantai adalah memindahkan kegiatan dari pantai ke daerah perairan lebih luar dan di laut lepas. Secara umum, sistem lepas pantai menyebabkan lebih sedikit polusi pantai, tetapi akan meningkatkan biaya secara dramastis.

Contoh Domestikasi Laut

Meskipun domestikasi laut akan membutuhkan biaya yang tidak sedikit, tetapi dari pilot proyek yang dirancang di Amerika mengilustrasikan sebagai suatu solusi yang potensial. Sebagai contoh, pemeliharaan ikan dalam pens raksasa di pantai (volume air sekitar 100.000 m3) adalah dirancang untuk tahan hempasan dan bebas di laut. Prototipe dalam bentuk dua cones sandwitch di dasarnya adalah sedang diujicoba di beberapa tempat di daerah pantai, sementara yang lainnya ditancapkan di dasar laut.

Suatu proyek telah dicoba dengan memelihara ikan ukuran burayak (fingerling) menggunakan sistem pens di Florida. Pens ini dibawa menyeberangi Teluk Gulf Stream dan kemudian arus Atlantic Utara akan membawa pens tersebut menyeberangi Atlantik, dan mendapatkan makan sepanjang perjalanan. Dengan dirancang untuk tetap kokoh di bawah permukaan air, gangguan pelayaran terhadap pens menjadi sedikit. Pens akan tiba di Eropa beberapa bulan kemudian, dan ikan akan tumbuh hingga mencapai ukuran pasar. Setelah pemanenan, pens dapat diisi kembali dengan ikan ukuran burayak dalam perjalanan pulang. Tetapi sistem seperti ini memiliki tantangan pengelolaan yang tinggi: pemberian pakan, mempertahankan kedalaman ideal dan komunikasi lewat satelit harus dilakukan secara otomatis, selama beberapa bulan pada waktu tertentu.

Pengembangan lainnya adalah penggembalaan (herding) ikan tuna di laut. Banyak spesies ikan tuna adalah tertarik kepada sesuatu yang berbeda dengan kondisi di sekeliling-nya. Nelayan dapat mengambil keuntungan dari tingkah laku ini dengan menggunakan suatu alat pengumpul ikan (fish aggregating device, FAD). Secara sederhana ini dapat berupa batang kayu terapung, atau sistem pelampung yang lebih kompleks, atau membuat gangguan berupa keributan secara perlahan di permukaan air laut. Perahu nelayan yang memancarkan cahaya juga akan bisa menjadi sebuah daya tarik, dan oleh karena itu dapat menarik tuna untuk mengikuti. Tuna yang tertarik ke FAD dapat diberi pakan, dipertahankan, dan sebagian mungkin dapat ditangkap. Meskipun penggunaannya kontro-versial, FAD dapat meningkatkan hasil. Tuna tidak akan didomestikasi seperti sapi, tetapi apa yang dilakukan di laut masih analog dengan penggembalaan di daratan. Hal ini adalah dua contoh bagaimana meningkatkan produksi ikan laut tanpa merusak ekosistem laut lebih parah lagi melalui penangkapan, dan memecahkan masalah yang disebabkan oleh marikultur di daerah pantai.

Konsekuensi Domestikasi Laut

Beberapa konsekuensi domestikasi laut, yaitu: pertama, nelayan mungkin akan hilang secara besar-besaran; jumlah ikan yang akan diambil diatur; dan jenis ikan yang kita makan tidak banyak bervariasi. Kita harus bisa menerima ikan laut hasil budidaya, dan harus menerima kenyataan bahwa kita tidak begitu bebas di laut.

Secara internasional, domestikasi akan memerlukan perubahan tujuan dari status quo. Saat ini, pemerintah dan nelayan menjadi penyebab over-eksplotasi stok ikan dan over-kapitalisasi industri penangkapan. Bila domestikasi laut menjadi pilihan, negara maritim harus melakukan negosiasi persetujuan tentang penggunaan laut secara bersama. Juga, pemerintah harus berperan membantu perkembangan penelitian untuk menemukan cara kultivasi ikan di laut terbuka, dan budidaya ikan laut dekat pantai yang lebih ramah lingkungan. Tujuan utamanya diarah-kan untuk menjaga laut sebagai sumber pangan yang lestari, baik secara ekonomi maupun ekologis. Seperti pada daratan, kelangsungan suplai pangan dari laut untuk penduduk dunia merupakan tujuan dari domestikasi laut.

Domestikasi Tidak Mengganti Penangkapan Bila Stok Ikan Dipulihkan

Kita telah mengetahui bahwa marikultur bisa menjadi kontributor utama untuk produksi pangan dunia dan sebagai sebuah solusi dari overfishing. Dengan kata lain bahwa perikanan dunia mungkin seharusnya diganti dengan domestikasi ikan di laut dalam skala besar. Kita tahu bahwa akuakultur semakin memegang peranan penting dalam suplai ikan dunia. Tetapi, pemisahan secara hati-hati harus dilakukan antara budidaya ikan air tawar, molluska dan tanaman dengan karakteristik teknologinya yang low-technology dan pengaruhnya rendah (low-impact), dan lebih banyak diarahkan untuk membantu pangan di negara-negara berkembang. Sementara budidaya ikan laut menggunakan teknologi tinggi dengan ikan target berupa ikan karnivora dan lebih banyak diperuntukkan bagi supermarket. Dengan demikian, sepertinya keluarga dengan pendapatan rendah tidak akan merasakan enaknya ikan tuna, salmon atau cod. Juga, suplai protein untuk masyarakat dengan pendapatan rendah akan hilang karena sebagian besar ikan-ikan kecil dialihkan untuk menjadi pakan ikan marikultur. Budidaya ikan karnivora juga menghasilkan ketidakefisienan konversi energi antar level tropik (tropic level). Karena itu, usaha tuna tidak bisa disetarakan seperti memelihara sapi, tetapi lebih mirip mengurung serigala yang diberi makan tikus dan rubah liar.

Salah satu alternatif pemecahan masalah sehubungan dengan pengembangan budidaya ikan tuna atau ikan laut secara umum dapat dibaca dalam artikel Memproduksi ikan dengan "ikan" bisa dihilangkan? dalam INOVASI (Alimuddin, 2005) dan dalam artikel di BeritaIptek, Teknik baru menyelamatkan ikan langka (Alimuddin, 2005a).

Ikan hasil tangkapan dan populasi alami untuk menyuplai kebutuhan penduduk dunia adalah tidak berlimpah. Dengan demikian, sudah seharusnya usaha lain difokuskan untuk mengembalikan populasi ikan alami yang turun drastis dengan melakukan restoking besar-besaran dan mengurangi total kapasitas penangkapan. Pengelolaan yang tepat terhadap ikan laut di alam akan menghasilkan kemajuan yang berarti, tetapi sayangnya, hal ini membutuhkan pre-kondisi seperti keinginan politik untuk mengimplementasikan perubahan-perubahan dan membuat persetujuan antar negara untuk penggunaan laut secara bersama.

Tidak ada komentar: